Resume Mata Kuliah Agama Islam

Pertemuan Kesebelas: Manusia Makhluk Peneliti

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hai, sobat literasi! Siapa yang tidak kenal dengan Ibnu Sina dan Al Khawarizmi. Peneliti muslim pada zaman keemasan yang kiprah penelitiannya sudah tidak diragukan lagi, bahkan pemikirannya menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan modern saat ini. Untuk menghasilkan pemikiran dan konsep yang luar biasa, para ilmuan muslim melakukan berbagai riset dan penelitian mendalam tentang suatu hal untuk menemukan jawaban tersirat yang terkandung di dalamnya. Nah, kali ini penulis akan memaparkan tentang materi yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk peneliti. Berikut ulasannya.

Konsep Dasar Kewajiban Melakukan Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah. Tujuan dari semua usaha ilmiah adalah untuk menjelaskan, memprediksikan, atau mengontrol fenomena. Tujuan ini didasarkan pada asumsi bahwa semua perilaku dan kejadian adalah beraturan dan bahwa semua akibat mempunyai penyebab yang dapat diketahui. Kemajuan ke arah tujuan ini berhubungan dengan perolehan pengetahuan dan pengembagan serta pengujian teori-teori. Dibandingkan dengan sumber pengetahuan yang lain, seperti pengalaman, otoritas, penalaran induktif, dan penalaran deduktif, penerapan metode ilmiah tidak diragukan, paling efisien, dan paling terpercaya.

Manusia sebagai makhluk peneliti merupakan suatu hal yang manusiawi, karena pada dasarnya manusia memiliki keingintahuan yang sangat kuat sehingga menjadikannya sebagai makhluk yang selalu ingin mencari tahu. Tetapi Allah juga menegaskan bahwa ilmu yang diturunkan kepada manusia adalah sebagian kecil dari ilmu yang dimiliki Allah. Ilmu Allah diibaratkan bagaikan ilmu yang jika ditulis dengan tujuh samudra di bumi ini sebagai tinta, dan ranting-ranting di seluruh dunia sebagai penanya, maka itu tidaklah cukup untuk menulis ilmu yang Allah miliki. Sehingga, salah apabila meyakini AlQuran sebagai isi dari seluruh ilmu Allah. Tetapi AlQuran merupakan isi dari sebagian kecil ilmu yang Allah turunkan atau Allah karuniakan kepada manusia.

Derajat Orang Berilmu dan Beriman

Dalam surah Al Mujadilah ayat 11. Allah Ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (Al Mujadilah: 11).

Imam Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa dalam firman Allah (يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ) mencakup pengangkatan derajat di dunia dan di akhirat. Sedangkan dalam firman-Nya (وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ) maksudnya Allah mengangkat derajat orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat yang tinggi dan kedudukan mulia di dunia serta pahala di akhirat. Maka barangsiapa menggabungkan iman dan ilmu niscaya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat dengan imannya dan mengangkat pula beberapa derajat dengan ilmunya. Dengan demikian semua pengangkatan derajat tersebut terkumpul dalam majelis ilmu. Penguasaan ilmu tanpa disertai keimanan pun akan diganjar allah dalam hal ketinggian derajat di dunia, seperti halnya pengakuan terhadap pemikiran Einstein, derajat beliau dalam keilmuan akan diakui dikalangan akademisi dunia namun untuk urusan akhirat wallahu alam bisshawab. Dasar keimanan menjadi penting apabila seseorang menginginkan paket komplit untuk memperoleh ketinggian derajat di dunia dan akhirat.

Dasar Tuntutan Pengelolaan Ilmu bagi Umat Islam

Upaya mencari ilmu pengetahuan di dalam dunia Islam bukan hal baru. Sebab, sudah dilakukan para ulama sejak zaman dulu. Mereka mempunyai perspektif terhadap Alquran, Alquran bukan hanya petunjuk agama saja tetapi juga sebagai sumber ilmu pengetahuan. Alqur'an adalah ilmu, pendidikan dan pedoman hidup bagi seluruh makhluk yang ada di alam ini, tiada satu katapun yang ada didalamnya terdapat celaan dan kebohongan, apalagi melahirkan kesesatan, kedzaliman dan kesengsaraan bagi pengikutnya yang setia. Al-qur'an adalah sumber ilmu yang sangat dalam bahkan tidak bisa diukur dengan dalamnya samudera, begitulah istilah isi kandungan dalam Al-qur'an yang tiada bandingannya.

Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad. Al-Qur’an juga satu-satunya mukjizat yang bertahan hingga sekarang. Selain sebagai sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat, al-Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak pernah mati. Jika dicermati, kebanyakan ilmu pengetahuan yang saat ini berkembang, sejatinya telah Allah tuliskan dalam al-Qur’an.

Dr. Zakir Naik mengatakan, Alquran bukan sebuah buku berisi sains. Alquran adalah sebuah kitab suci berisikan kebenaran. Alquran memiliki 6.000 ayat lebih, 1.000 ayat di antaranya berkaitan dengan sains.

Penjelasan diatas memberikan pemahaman bahwa al-Quran menjadi dasar yang digunakan umat islam untuk dapat mengolah berbagai jenis ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini.

Analisis Tuntutan Allah dalam Wahyu Pertama

Wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad adalah Surah Al-Alaq: 1-5. Ayat tersebut dimulai dengan satu perintah: Iqra’, yaitu membaca. Hal ini bisa jadi sudah sering diutarakan oleh banyak penceramah di bulan Ramadhan, tapi perlu direnungkan kembali di tengah krisi literasi umat, ketika Islam harus berhadapan dengan revolusi digital di abad ke-21. Tradisi literasi dalam Islam punya tiga hal yang sangat penting bila merujuk pada wahyu pertama yang turun.

Dimensi Pertama: Membaca

Pertama, “membaca”. Dalam surah al-Alaq, ada tiga ayat yang bicara soal ‘membaca’. Ayat pertama, Iqra’ bismirabbikalladzii khalaq, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta.” (ayat 1). Buya Hamka menafsirkan ayat ini dengan satu makna penting, bahwa dengan membaca, telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya.

Ayat kedua bicara secara lebih spesifik, Khalaqal insaana min ‘alaq, “Menciptakan manusia dari segumpal darah.” (Ayat 2). Ayat ini bicara tentang hakikat penciptaan manusia dan, yang terpenting, adalah kelanjutan dari ayat sebelumnya. Artinya, untuk memahami ayat ini, kita perlu mengaitkannya dengan ayat sebelumnya. Maknanya: ‘membaca’ tidak hanya sekadar membaca secara tekstual, tetapi juga membaca hakikat penciptaan secara lebih luas.

Ayat ini memberikan sebuah ilustrasi menarik, yaitu tentang hakikat penciptaan tentang manusia sebagai segumpal darah. Hal ini memberikan satu isyarat: membacalah untuk mengetahui hakikat kita sebagai seorang manusia. Ini berarti membuka cakrawala kita lebih luas tentang ‘sains’ dan ‘kemanusiaan’.

Di satu sisi, “membaca” adalah gerbang untuk mengetahui hal yang ada di dunia ini. Ia memungkinkan adanya sains dan pencarian kebenaran ilmiah. Di sisi lain, Membaca adalah gerbang untuk membuka keterbatasan-keterbatasan kita sebagai manusia. Dengan membaca, kita akan mengetahui bahwa hakikat kita sebagai manusia hanya segumpal darah yang eksistensinya hanya dimungkinkan oleh ruh yang ditiupkan oleh Allah. Membaca memungkinkan kita untuk memahami materialitas diri kita dan materialitas dunia, sekaligus juga memahami batas-batasnya.

Ayat ketiga, Iqra’ wa rabbukal akram. “Membacalah, dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia.” (Ayat 3). Ayat ini mengulang perintah di ayat pertama: “membaca”. Namun, ada satu dimensi yang ditekankan di ayat ini: Kemuliaan Tuhan! Ayat ini memberikan batas bagi materialitas manusia yang ditekankan di ayat pertama, yaitu manusia yang berada di bawah kekuasaan Tuhan. Inilah tujuan kita membaca, yaitu tidak hanya memahami dimensi eksistensial dan material dari manusia, tetapi juga esensi-nya, yaitu sebagai makhluk Tuhan.

Dimensi Kedua: Menulis

Ketiga ayat ini kemudian menjadi sandaran penting untuk memahami ayat keempat, yaitu Alladzi ‘Allama bil Qalam, “Yang Mengajarkan Manusia dengan Pena” (Ayat 4). Dengan memahami kemuliaan Allah, kita disadarkan untuk tidak hanya sekadar membaca sebagai aktivitas individual, tetapi juga membaca sebagai aktivitas sosial. Instrumennya satu: pena (Al-Qalam).

Ayat ini, secara tidak langsung, sebetulnya mendorong kita untuk menulis! Jika membaca adalah gerbang untuk untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini, maka menulis adalah kuncinya. Dia tidak hanya memungkinkan kita untuk menyebarkan pengetahuan, tetapi juga mengolah gagasan. Tradisi Islam menghargai bentuk-bentuk literasi; dari penerjemahan teks-teks klasik Yunani yang dilakukan oleh intelektual Baitul Hikmah di abad ke-9 hingga penerbitan kitab-kitab ulama Nusantara di masa keemasan Jawi.

Dimensi Ketiga: Mengajarkan Pengetahuan

Ayat kelima membangun tradisi yang melengkapi kedua tradisi di atas, yaitu, ‘Allamal Insaana Maa Lam Ya’lam “Mengajarkan manusia apa-apa yang tak diketahuinya” (Ayat 5). Ayat ini berarti mentradisikan ‘pengajaran’, atau dengan kata lain ‘diskusi’ sebagai pelengkap membaca dan menulis. Membaca penting sebagai fondasi dalam tradisi literasi, yang kemudian diartikulasikan melalui tulisan. Namun, keduanya takkan lengkap jika ia tak diajarkan kepada manusia yang lain.

Seorang Muslim, dengan demikian, punya tanggung jawab keilmuan kepada manusia lainnya dan harus berupaya keras untuk mempertahankannya dari intervensi kekuasaan. Teologi Al-Alaq, dengan demikian, berupaya untuk menyadarkan manusia akan hakikat kemanusiaannya, sebagai makhluk ciptaan Allah, dengan pengetahuan. Seorang manusia, tak peduli dari manapun ia dan siapapun ia, punya hak dan kewajiban untuk berpengetahuan, dan menjadi keharusan bagi siapapun yang berpengetahuan untuk mengajarkannya pada orang lain.

Dari Pengetahuan ke Gerakan

Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa tradisi literasi dalam Islam ditopang oleh tiga kata kunci penting: Iqra’ (Membaca), Al-Qalam (Pena), dan ‘Allamal Insaan (Pengajaran). Tiga hal ini adalah kunci dari pintu gerbang dunia dan fondasi untuk membangun peradaban. Jika tiga hal ini terjalin dengan rapi, maka terbangunlah satu peradaban yang kokoh –untuk menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin.

Ketiga dimensi distas menuntut untuk diartikulasikan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Alaq adalah wahyu pertama. Hingga bertahun-tahun setelahnya, turunlah ayat-ayat berikutnya. Dalam surah Al-Alaq, Allah menyuruh Nabi untuk membaca, agar di kemudian hari bisa menerima wahyu-wahyu berikutnya. Artinya, kita disuruh membaca karena pengetahuan dan ayat-ayat Allah, pada dasarnya sangat luas.

Islamisasi Sains

Salah satu tujuan pendidikan nasional yang termuat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggung jawab.Namun, pengajaran sains di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia nyatanya belum juga menunjukkan hasil yang maksimal dalam mendorong terwujudnya tujuan tersebut, terutama dalam menjadikan peserta didik manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Padahal, sains adalah salah satu pelajaran yang paling mudah digunakan untuk mengenalkan seseorang pada Tuhannya.

Proses pengajaran sains di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan. Konsep-konsep tentang Rabb Sang Maha Pencipta hampir tidak ditemukan dalam pengajaran sains. Ia hanya dilimpahkan pada mata pelajaran Agama semata yang hanya diajarkan maksimal dua jam pelajaran setiap pekannya. Keadaan ini diperparah dengan referensi pengajaran sains yang hampir seluruhnya berkiblat ke Barat, yang telah mereduksi bahkan menihilkan nilai-nilai ketuhanan yang ada di dalam sains. Dalam perspektif sains modern ala Barat, alam, sebagai objek utama ilmu sains hanyalah sebatas benda semata yang tidak memiliki nilai-nilai ruhani. Alam hanya akan bernilai apabila ia dapat dikuasai dan dimanfaatkan.

Islamisasi Sains muncul untuk menjawab problematika zaman sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sains Islam bukan berarti sains hari ini ditambah Al-Qur’an dan Hadits tetapi, sains Islam tertambat berawal dari metodologi berpikir yang Islami. Sains Islam berangkat dari menempatkan Konsep Tuhan sebagai bangunan sentral dalam kerangka ilmu. Inilah yang membedakan konsep sekuler yang dibawa Barat dengan Sains Islam.

Memang, pada dasarnya sains adalah ilmu untuk hidup yang kemudian berkembang menjadi ilmu agar hidup lebih terhormat, hingga menjadi ilmu agar hidup lebih mudah. Intinya, demikzaianlah fungsi praktis dari sains itu sendiri. Namun, apabila pengajaran dan pengembangan sains ditujukan hanya untuk mencapai hal tersebut, ini tentunya merupakan bentuk penyempitan sudut pandang terhadap sains.

Perbedaan mendasar akan pola pikir Barat dan Islam dalam memandang sains dan alam ini nantinya akan sangat berdampak pada tujuan pengembangan ilmu sains itu sendiri. Lebih jauh lagi, selain melahirkan manusia-manusia yang semakin beriman pada Tuhannya, Sains Islam akan melahirkan dunia yang seimbang. Hal ini sebagaimana ketika Allah menyebut manusia sebagai khalifah di dalam Al-Qur’an yang salah satu maknanya adalah ‘menggantikan’ Allah dalam merawat dan menjaga bumi sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia. Tentu saja ini adalah tanggung jawab yang besar.

Oleh karena itu, penting bagi seorang muslim untuk merekonstruksi pola pikirnya dengan Islamic Worldview. Salah satu caranya adalah dengan menggali lebih dalam tentang sejarah sains secara jujur dan terbuka. Darinya akan timbul sikap penghayatan terhadap sains sebagaimana yang dilakukan oleh para saintis muslim terdahulu. Karena sejatinya, bicara sains adalah bicara penghayatan. Sikap penghayatan ini lahir dari semangat yang besar dari para saintis muslim terdahulu untuk dapat ber-Al-Qur’an secara lebih baik. Sehingga, sejarah mencatat kegemilangan peradaban justru ada pada peradaban Islam.

Islamisasi Sains bukan semata-mata mencukupkan produk sains dengan label lebih ‘islami’. Namun, mengembalikan para pembelajar dan pelaku sains dalam kerangka berpikir yang tepat. Sekali lagi, Sains Islam hadir dengan meletakkan Konsep Tuhan sebagai bangunan sentral dengan meyakini bahwa segala kebenaran itu datangnya dari Tuhan, Dengan kembali pada kerangka berpikir yang tepat, dan diwujudkan dalam melakukan perbaikan terhadap sistem dan instrumen pengajaran sains di Indonesia, maka bukan hal yang sulit untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang disebutkan di atas secara merata.

Sekian ulasan topik kali ini. Semoga meberi bermanfaat.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sumber:

https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/24/konsep-dasar-penelitian/

https://www.kiblat.net/2019/02/20/islamisasi-sains-perlukah/

http://rizkahidayanty.blogspot.com/2015/12/manusia-sebagai-makhluk-peneliti.html

https://muslim.or.id/29242-derajat-mulia-penuntut-ilmu-agama-2.html

https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/05/13/opw17h313-alquran-sumber-ilmu-pengetahuan

https://indoprogress.com/2018/03/teologi-al-alaq/

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Mata Kuliah Agama Islam

Resume Mata Kuliah Agama Islam